Banyak orang yang ‘mati-matian’ ingin tampil
elegan dan fashionable tanpa mempertimbangkan faktor kemampuan. Apalagi jika
memegang kartu kredit yang dianggap sebagai ‘uang tambahan’ dan bukan
‘pengganti uang’. Godaan dari berbagai program promo di mal, surat kabar, SMS
Blast, serta booklet kartu kredit yang rutin dikirim setiap bulan menjadi
alasan ‘logis’ bagi karyawan berpenghasilan pas-pasan untuk menggesek atau
mengeluarkan sebagian (besar) penghasilannya demi memenuhi nafsu belanja yang
diperhalus dengan istilah ‘kebutuhan hidup’ tersebut. Tidak salah memang jika
ada karyawan yang membeli sepatu baru berharga ratusan ribu, toh yang
dibelanjakannya adalah uang sendiri dan hasil keringat selama satu bulan
bekerja. Namun sesuatu yang ‘tidak salah’ bukan berarti ‘benar’. Istilah besar pasak daripada tiang memang harus
menjadi alarm bagi mereka yang mengejar gaya
hidup.
Apa sebenarnya gaya hidup itu? Secara teori, gaya hidup menggambarkan
“keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya (Kottler
dalam Sakinah, 2002). Menurut Susanto (dalam Nugrahani, 2003) gaya hidup adalah perpaduan antara kebutuhan
ekspresi diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak
berdasarkan pada norma yang berlaku. Oleh karena itu banyak diketahui macam gaya hidup yang berkembang di masyarakat sekarang misalnya
gaya hidup hedonis, gaya
hidup metropolis, gaya
hidup global dan lain sebagainya. Di sini kita akan berbicara dari sisi gaya hidup hedonis dan
metropolis.
Tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta,
Bandung, dan Surabaya membutuhkan ‘keimanan’ yang cukup tinggi untuk tidak
mudah tergoda oleh produsen-produsen produk gaya hidup (busana, teknologi,
kuliner, hiburan dan sebagainya) yang bergentayangan hampir di setiap sudut-sudut
kota dan. Apalagi mereka yang hobi jalan-jalan ke mal, atau sekedar menemani
klien. Mengikuti apa yang selalu menjadi tren adalah langkah pertama untuk
memiliki penghasilan yang selalu minus. Percaya atau tidak, biasanya
orang-orang yang tampil gaya
padahal di kantornya hanya karyawan kecil (tentu ini tidak berarti merendahkan
posisi apapun, hanya sekedar contoh) biasanya punya hutang kartu kredit yang
melebihi penghasilannya. Orang yang melihat akan menyimpulkan kalau karyawan
ini mapan, berpenghasilan besar, dan punya bisnis sampingan yang omsetnya
melebihi gajinya. Padahal?
0 Comments:
Post a Comment