Kelas
menengah Indonesia dapat dikatakan mengalami revolusi karena pertumbuhannya
yang luar biasa. Selama kurun waktu 1999 sampai 2009 jumlah individu kelas
menengah Indonesia telah melonjak hampir dua kali lipat. Temuan menarik itu
adalah kenyataan bahwa pada tahun 2011 untuk pertama kalinya GDP per kapita
(nominal) Indonesia menembus angka U$3,000. Data IMF (Internatinal Monetary
Fund) memperlihatkan bahwa tahun 2010 GDP per kapita Indonesia sebesar U$2,963
dan pada tahun 2011 meningkat menjadi U$3,270.
Menurut
Yuswohadi (2012) yang meneliti tentang kelas menengah Indonesia melalui lembaga
riset CMCS (Center for Middle-Class
Consumer Studies), individu kelas menengah Indonesia yang berlaku sebagai
masyarakat konsumen dengan rentang pengeluaran U$2 sampai U$20 per hari, telah
mencapai sekitar 134 juta orang atau sekitar 60% dari jumlah penduduk Indonesia
saat ini, dan jumlah itu selalu bertambah 8 sampai 9 juta setiap tahunnya.
Termasuk dalam golongan kelas menengah adalah para karyawan,
baik pegawai negri maupun pegawai swasta. Dimana karyawan mempunyai pendapatan
yang pasti dan berada di atas untuk sekedar pemenuhan kebutuhan, sehingga
mereka pun mempunyai daya beli yang cukup tinggi. Dengan rentang pengeluaran
per hari yang cukup tinggi, golongan kelas menengah Indonesia dapat dikatakan
memiliki daya beli yang tinggi pula. Hal ini menyebabkan masyarakat kelas
menengah menjadi masyarakat konsumen yang cenderung hyper-konsumsi (konsumtif)
dan tidak diimbangi oleh cara berfikir rasional dalam membelanjakan pendapatan.
Sehingga banyak terjadi kasus pada masyarakat golongan ini yang terpuruk karena
masalah ekonomi seperti hutang yang tidak dapat terbayar, tidak adanya dana
darurat untuk kesehatan, tidak mempunyai tabungan untuk anak sekolah, dan
lain-lain. Hal ini jelas akan menjadi suatu permasalahan yang serius bila
terjadi di hampir seluruh lapisan masyarakat, dan akan berdampak pada
pemiskinan masyarakat itu sendiri, yang otomatis bila berlarut-larut dibiarkan
tanpa adanya penanganan yang baik, akan mempengaruhi perekonomian negara secara
keseluruhan. Berdasarkan hasil
penelitian, hanya 24% dari mereka yang dapat menyisihkan 20% dari penghasilan
bulanannya, dan bahkan 12% mengaku tidak menyisakan penghasilannya untuk
ditabung.
Masalah keuangan
timbul akibat dari sikap karyawan itu sendiri yang tidak dapat mengelola
keuangan pribadi ketika masih memiliki kesempatan, waktu, dan daya yang besar
selama bekerja diperusahaan tersebut untuk mengantisipasi segala risiko.
0 Comments:
Post a Comment